“TRI PANTANGAN TAMANSISWA”
TUGAS KETAMANSISWAAN
“TRI PANTANGAN
TAMANSISWA”
Kelompok 2 :
Ayu
Setya Wardhani (2017011063)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2018
Tri
Pantangan sebagai Manajemen Clean Governance.
Ketika seseorang
mempelajari sistem pendidikan di Indonesia umumnya mengacu dan mendalami
falsafah ajaran Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Namun
banyak yang kurang paham bahwa sejatinya Ki Hadjar Dewantara tidak hanya piawai
di bidang pendidikan, namun juga bidang politik, jurnalisme, budaya, juga di
bidang manajemen. Ambil contoh konsep Ekonomi Kerakyatan
berazas kekeluargaan dengan soko guru koperasi yang dilansir Ki Hadjar Dewantara
ketika turut menyusun UUD 1945. Bahkan Bung Hatta saat itu mengatakan ekonomi
kekeluargaan adalah ekonominya Tamansiswa. Konsep manajemen Ki Hadjar Dewantara
tentang manajemen leadership Trilogi Kepemimpinan banyak dianut para pemimpin
bangsa. Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
sebagai konsep manajemen dengan konsentrisitas local wisdom Indonesia. Demikian
pula konsep manajemen konflik dilansir Ki Hadjar Dewantara dalam Neng, Ning,
Nung, Nang dengan win-win solution. Dan konsep manajemen “Clean
Governance” Ki Hadjar dilansir dalam TRI PANTANGAN di Tamansiswa dengan
sanksi tanpa kompromi bagi yang melanggarnya. Di kalangan keluarga Tamansiswa
sanksi atas pelanggaran Tri Pantangan tersebut adalah penghentian sebagai
anggota (PHK/pemecatan). Konsep anti korupsi tersebut dirinci dalam pantang
menyalahgunakan Kekuasaan, Keuangan dan Kesusilaan. Pada
galibnya pelanggaran terhadap tiga bidang tersebut sering berkait satu sama
lain.
1.
Pantang
Menyalahgunakan Kekuasaan.
Dari seorang pejabat
(top management) hingga pegawai rendah punya peluang untuk menyalahgunakan
kekuasaan atau penugasan yang menjadi tanggung jawabnya. Praktek “Nepotisme”
sering menjadi modus operandinya, menutupi/membela kekurangan/kesalahan kerabat
atau kelompoknya membuat sendi organisasi dan sendi negara menjadi tidak sehat.
Ujung-unjungnya kepentingan rakyat banyak terabaikan.
Pemberantasan korupsi
sering tersandung oleh pembelaan terselubung dari pejabat kelompok tersangka.
Berbeda dengan azas “Guansie” dalam masyarakat Mandarin dimana ada etika
mendahulukan kerabat sebagai mitra, namun reward and punishment dilaksanakan
secara konsisten walau terhadap anak kandung. Ketika seorang aktifis/
pimpinan partai telah menjadi pejabat negara seharusnya beralih
menjadi pejabat yang negarawan untuk membela kepentingan
nasional, bukan sekedar politikus yang membela kelompoknya (oligarkis).
Para Founding Fathers
kita pada awal kemerdekaan umumnya berkualitas sebagai Negarawan sejati.
Misalnya perbedaan pendapat pribadi dwi tunggal Bung Karno dan Bung Hatta tidak
menggoyahkan Republik saat itu. Bung Hatta konsisten sebagai negarawan dengan
“legowo” mundur sebagai Wapres dan tidak mau semata membela kebenaran
pribadinya. Terjadinya kelompok-kelompok dalam koalisi saat ini berimbas pada kiprah
para politikus yang jauh dari mutu negarawan. Mereka hanya membela pribadi dan
golongannya, kurang peduli kepada kepentingan seluruh bangsa.
Undang Undang dan
ketentuan-ketentuan masih banyak berkutat kepada sanksi penyalahgunaan wewenang
secara perorangan/pribadi pejabat daripada sanksi penyalahgunaan wewenang
terhadap golongan dan partai. Banyak terdapat golongan-golongan minoritas yang
belum terlindungi hak azasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketika jabatan strategis bisa menjadi komoditas (bukan amanah suci dari negara)
karena dikaitkan dengan permodalan guna mencapainya, sehingga berlaku “keuangan
yang maha kuasa”. Bukankah ini suatu penyalahgunaan wewenang yang bertentangan
dengan amanat penderitaan rakyat. Demokrasi berasal dari kata demos
dan kratein berarti kekuasaan negara seharusnya berada di
tangan rakyat.
2.
Pantang
Menyalahgunakan Keuangan.
Para pakar keuangan di
negeri ini telah berupaya menyusun Standar Akuntansi (Perbankan, Koperasi,
Asuransi dll), namun banyak bidang yang belum diatur Standar Akuntansinya dalam
PAI (Peraturan Akuntansi Indonesia). Misalnya belum ada Standar Akuntansi
Keuangan Sekolah/Perguruan Tinggi. Sehingga para Auditor sering mengalami
kendala dalam melaksanakan tugas justifikasi pengendalian dan pengawasan dalam
beberapa lembaga publik (Perguruan Tinggi/Sekolah, Badan Sosial) yang belum ada
standarnya.
Data emperik
menunjukkan bahwa banyak perguruan/sekolah yang mati lantaran miss management
bidang keuangan. Mengelola bidang keuangan membutuhkan sikap perfek yang
lebih daripada bidang lain. Teledor, lupa, salah tulis, salah hitung khusus
dalam bidang keuangan benar-benar tabu, karena keteledoran ini sering dicurigai
sebagai kesengajaan atau indikasi perbuatan pidana kejahatan. Di lain pihak
banyak organisasi yang tidak dapat berkembang bahkan bangkrut gara-gara
penyalahgunaan keuangan. Oleh karena itu penataan tertib administrasi keuangan
yang akuntabel sangat dibutuhkan dalam pengelolaan sebuah organisasi.
Fungsi controlling
dalam organisasi harus melekat dalam sistem manajemen.
Evaluasi fungsi planning dan organizing harus rutin dilaksanakan oleh fungsi
controlling. Korupsi adalah tindakan penyelewengan keuangan yang menguntungkan
diri sendiri dan atau orang lain/kelompoknya. Kata “korupsi” berasal dari kata
“corrouper” berarti suatu hal yang merusak. Tindakan korupsi bagai
penyakit kanker yang merambah ke seluruh kapiler bangsa yang melumpuhkan moral
budaya kita. Tidak ada negara yang bersih dari korupsi dengan angka 0%, karena
memang semua manusia bukan makhluk yang sempurna. Selandia Baru sebagai negara
terbersih korupsi di dunia masih mencatat skor 0,2. Namun ternyata Indonesia
masih menduduki ranking atas dalam hal tindak pidana korupsi.
Menjadi tugas kita
semua untuk selalu memperkuat pagar bagi administrasi keuangan di segala
bidang. Sesuai fungsi manajemen, maka pengawasan harus melekat (built in
controll) dalam sistem manajemen. Semua warga negara berkewajiban mendidik
sedini mungkin anak, saudara, teman, masyarakat dalam tertib moral administrasi
keuangan demi kemaslahatan rumah tangga, organisasi, negara dan bangsanya.
Semua lembaga pendidikan negeri ini harus menanamkan karakter generasi muda
yang anti korupsi. Kelak generasi masa depan kita harus bermental “Clean
Governance” agar dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
3.
Pantang
Menyalahgunakan Kesusilaan.
Kesusilaan dan etika
peradaban membedakan antara manusia dengan makhluk Tuhan yang lain. Makin
meningkatnya mutu peradaban manusia, tentu akan semakin tertata kesusilaan,
etika dan akhlak manusia sesuai jamannnya. Penyalahgunaan kesusilaan bukan
hanya menyangkut “perselingkuhan” namun juga menyangkut etika moral manusia
secara lebih luas. Misalnya pelecehan, kata kasar/jorok, membuat orang lain
tidak nyaman, penyimpangan etika pada umumnya dalam oral lisan, telepon, bahasa
tulis/sms, media elektronik email, path, twitter, face book dan segala peri
lakunya.
Kesusilaan banyak
berkaitan dengan iman agama masing-masing pelakunya. Karena itu peran
pemuka-pemuka agama di tanah air sangat menentukan perkembangan moral bangsa
dan moral individu warganya. Berlainan dengan estetika (lahiriyah), maka etika
kesusilaan bersumber kepada keindahan batiniah dari nurani manusia (Ki Hadjar).
Kesusilaan yang terjaga akan membuat tata kelola organisasi dan sosial
kemasyarakatan, kekeluargaan menjadi nyaman lahir dan batin sesuai tujuan
keluarga salam dan bahagia dalam masyarakat tertib dan damai. Tertib tanpa
damai mendatangkan tirani, sedang damai tanpa ketertiban mendatangkan anarkhi.
Maraknya tawur dan
kerusuhan-kerusuhan di daerah adalah ekses diabaikannya tertib dan damai.
Selain perlu menjaga keseimbangan otak kiri dan otak kanan, manusia juga wajib
menjaga kendali otak bawah. Otak bawah adalah sisa naluri purba manusia semasih
belum beradab misalnya berupa naluri membunuh, menyiksa, teror, memperkosa,
berbuat kejam, curang, mencuri, membalas dendam. Semakin orang beradab dan
beriman, tentu dapat menyalurkan naluri otak bawah (marah, dendam) menjadi
energi yang mendorong positif thinking. Emosi dendam dan marah dapat disalurkan
dalam semangat berjuang dan bekerja lebih baik untuk pembuktian ketidak benaran
pendapat orang yang memicu dendam dan marah.
Penyalahgunaan
Kekuasaan dan Kesusilaan sering saling terkait dan berimbas kepada
Penyalahgunaan bidang Keuangan, begitu juga sebaliknya. Keluarga besar
Tamansiswa masih teguh berpegang kepada Tri Pantangan tersebut dan hingga kini
tidak satupun pejabat negara dari Tamansiswa yang melakukan tindakan pidana
korupsi. Demikianlah Tri Pantangan ajaran Ki Hadjar Dewantara pendiri perguruan
Tamansiswa pada tahun 1922, pantas menjadi solusi terapi bagi maraknya korupsi
di tanah air.
(Penulis:
Ki Priyo Dwiarso anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa)
Komentar
Posting Komentar