Postingan

Dia, Gelas dan Malam

 Lampu kuning menetes di atas meja, seperti madu cair yang menahan malam. Dia meneguk gelas demi gelas, tetap tegak, tetap sadar seperti bulan yang menonton laut tanpa goyah. Tawa mereka mengisi udara, ringan tetapi matanya menyimpan malam yang berat, bayangan yang tak ingin dia bagi. Ada garis lelah di bahunya, seperti sungai yang berjalan terlalu jauh menyimpan batu-batu yang tak pernah terlihat. Aku duduk di seberangnya, diam, merasakan gravitasi yang aneh, tarikan tak masuk akal, penasaran yang lembut tapi menusuk. Sekali bertemu, satu meja, satu malam, dan dia sudah menjadi teka-teki yang berdiri di antara gelas, cahaya, dan bayang-bayang membuat hati ingin menyelam ke laut yang tak bisa disentuh.

Ruang Yang Mengunyah

Di balik dinding-dinding kaca, ada bisu yang memakan tulang, setiap langkah kaki yang tersenyum meninggalkan jejak api dingin di paru-paru. Aku bernapas di ruang yang menekuk, udara berat, pekat, menghimpit hati sampai dentingnya sendiri terdengar, setiap tatapan adalah duri yang menancap diam-diam. Aku menahan gelombang, menekuk semua amarah, menyimpan ledakan di antara tulang rusuk, hingga tiap ingatan tentang mereka adalah batu besar yang mendorong dada ini ke bawah. Dan aku belajar menari di atas tekanan itu, menjadi bayangan yang tak terlihat, sementara ruang itu terus mengunyah, menelan keadilan yang seharusnya, meninggalkan hanya gema kemarahan yang tak terdengar.

Kebun Binatang

Di kandang kaca ini, mereka berjalan zebra berlarian dengan rencana bodoh, Monyet-monyet tertawa di atas meja mencuri ide tanpa malu Singa-singa duduk di kursi empuk, melahap waktu dan napas orang lain, sementara kura-kura lambat menunda keputusan, dan burung-burung berdengung dengan rumor kosong. Aku berdiri di antara kebisingan ini, menyimpan amarah di dada, menertawakan kebodohan mereka diam-diam, menunggu hari ketika aku bukan hanya pengunjung tapi predator yang akhirnya keluar dari kandang 

Perempuan di Ambang Bayang

Ia tidak jatuh cinta  setidaknya, itu yang terus ia ulang dalam pikirannya. Namun matanya berhenti di satu sosok yang sudah terlalu dimiliki semesta lain. Ada getar yang tak minta izin, lirih tapi menembus. Bukan hasrat, tapi rasa ingin memahami kenapa dunia menciptakan jarak di antara dua jiwa yang hanya bisa saling diam. Ia tahu batas, tapi batas itu kabur setiap kali ia membaca tatap yang pura-pura tak mengenal. Mereka bukan sepasang mereka dua kesalahan yang saling menemukan cermin. Malam-malamnya jadi ruang interogasi, antara logika dan denyut yang tak mau patuh. Ia menulis namanya di udara, lalu menghapus sebelum semesta sempat melihat. Cinta? Mungkin bukan. Hanya obsesi yang tumbuh dari kehampaan, atau mungkin, kerinduan yang salah alamat. Dan ketika pagi tiba, ia kembali jadi perempuan biasa menyembunyikan badai di balik rias tipis, menatap cermin, dan berbisik, *“Aku tidak mencintainya.”* tapi matanya tidak setuju.

Cahaya Palsu

Cahaya palsu menari di atas lumpur, berpura-pura jadi bintang. Kilau itu haus tepuk tangan, padahal tenggelam setiap kali mata menutup. Angin membisikkan pujian kosong, menyusup ke celah topeng yang licin. Ia tertawa kecil, tak sadar suaranya hanya gema dari kebohongan sendiri. Lantai pun jemu menahan langkah yang tak tahu arah, selalu melingkar, selalu takut jatuh, selalu ingin terlihat berdiri tegak. Ia terus berdetak, bukan karena hidup, tapi karena takut tak terdengar lagi. Dan di tengah keramaian yang tak punya suara, ada sesuatu yang menatap kosong terlalu terang untuk jujur, terlalu sunyi untuk benar-benar ada. Dan di sudut paling terang ruangan, ada bayangan yang bertepuk tangan bukan karena kagum, tapi karena tahu: semua cahaya di sini hanya memantulkan debu.

Retakan yang Mengajar Sunyi

Ada retak yang tak butuh palu, lahir dari diam yang menipu. Ia menjalar pelan, menyusup ke pori dinding kesadaran. Asap hitam tak turun dari langit, melainkan naik dari dasar waktu, membungkus logika dengan benang tipis yang baunya seperti kesalahan lama. Cermin berdebu tersenyum bengkok, pantulannya menukar gelap dengan kejujuran. Setiap serpihnya menulis kisah: tentang luka yang belajar bicara dengan angkuh. Di ruang tanpa arah, gema memakan dirinya sendiri. Dan ketika senyap menjadi satu-satunya bahasa, ia tertawa tanpa suara, tanpa bentuk, tanpa ampun.

Cahaya yang Kembali Menjadi Dirinya

Tak ada tubuh, tak ada arah, hanya lembut yang menyebar pelan. semua luka melebur jadi debu emas, semua air mata menetes ke langit dan berubah jadi bintang kecil yang tak pernah padam. di tempat ini, tak ada kata “pergi.” yang ada hanya pulang, tanpa rindu, tanpa takut, karena segalanya sudah utuh. bumi mungkin pernah jadi badai, namun badai pun, akhirnya belajar tenang di dada langit yang memaafkan segalanya. dan di tengah cahaya tanpa nama itu, ada tawa kecil , jernih, lepas, seolah segalanya akhirnya mengerti: inilah arti bahagia yang tidak lagi butuh dunia.