Rintik di Usia Dua Puluh Tujuh
Ada seorang berdiri di ambang perjalanan hidupnya usia dua puluh tujuh, awal yang terasa teduh seperti langit tanpa warna, menunggu hujan turun. Rintik jatuh perlahan, menyentuh kulitnya yang lelah Setiap tetes membawa bisikan: bahwa damai bukan datang dari riuh dunia, melainkan dari jiwa yang rela berserah. Ia berjalan sendiri di jalan basah, tak lagi mencari payung dari tangan palsu, tak lagi menunggu teduh di bawah atap orang lain. Ia tahu, hujan pun bisa menenangkan asal hati belajar menerima dingin dengan ikhlas. Di balik deras, ia berdoa lirih: semoga langkahnya selalu dijaga, jauh dari racun mulut dan wajah berlapis topeng. Biarlah hidupnya sederhana, asal tenang asal damai. Dan ia menyerahkan seluruh rindunya pada langit tempat Tuhan bersemayam, percaya bahwa setiap rintik yang jatuh bukan sekadar air, tapi jawaban untuk jiwa yang tak ingin lagi berpura-pura.