Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Rintik di Usia Dua Puluh Tujuh

Ada seorang berdiri di ambang perjalanan hidupnya usia dua puluh tujuh, awal yang terasa teduh seperti langit tanpa warna, menunggu hujan turun. Rintik jatuh perlahan, menyentuh kulitnya yang lelah Setiap tetes membawa bisikan: bahwa damai bukan datang dari riuh dunia, melainkan dari jiwa yang rela berserah. Ia berjalan sendiri di jalan basah, tak lagi mencari payung dari tangan palsu, tak lagi menunggu teduh di bawah atap orang lain. Ia tahu, hujan pun bisa menenangkan asal hati belajar menerima dingin dengan ikhlas. Di balik deras, ia berdoa lirih: semoga langkahnya selalu dijaga, jauh dari racun mulut dan wajah berlapis topeng. Biarlah hidupnya sederhana, asal tenang asal damai. Dan ia menyerahkan seluruh rindunya pada langit tempat Tuhan bersemayam, percaya bahwa setiap rintik yang jatuh bukan sekadar air, tapi jawaban untuk jiwa yang tak ingin lagi berpura-pura.

Daun yang Berpura-pura

Ada pohon berdiri, akarnya menancap ke tanah luka, batangnya retak, tapi tak pernah roboh. Ia tahu, angin datang tak selalu jujur kadang berbisik lembut, padahal menyimpan badai. Di antara ranting, daun-daun bergetar, ada yang hijau karena setia, ada pula yang menguning lebih cepat, menyamar, seolah ikut memberi teduh padahal diam-diam menanti saat jatuh. Namun pohon itu tetap berdiri, menyimpan sabar di serat-serat kayunya, membiarkan daun munafik gugur sendiri dan kembali menjadi tanah yang dilupakan. Ia tahu yang tulus akan tetap menempel, menggenggam ranting sampai musim usai. Sedang yang berpura-pura, akan terhempas oleh angin kecil sebelum sempat menyentuh matahari.

Dia, Wanita itu

Dia, Si Wanita itu Dia berjalan di antara ruang yang kosong, menempelkan senyum di dinding hampa. Hidupnya kosong, tapi tangannya sibuk mengisi kosong yang bukan miliknya. Dia memberi, memberi, memberi hingga tangannya lelah, hingga hatinya terasa seperti beton. Tapi dia terus mengisi, karena takut, bahwa jika ia berhenti, kosong itu akan menelan semuanya. Dia wanita dewasa. Diam. Keras. Hampa. Tapi di setiap kekosongan yang disentuhnya, ada keajaiban kecil: sesuatu yang tidak pernah kosong lagi

Kupu-Kupu di Lampu Sorot

Ia lahir dari kepompong sunyi, sayapnya lembut tapi bercahaya. Setiap gerak adalah tontonan, setiap senyum adalah bisik yang dicemburui. Orang menatap, menilai, menaruh jari-jari di udara, mencoba menangkap keindahannya seperti burung menangkap bayangan matahari. Ia terbang di lampu sorot, terbakar oleh pandangan yang iri, namun tetap menari sayapnya yang rapuh menjadi perisai, cahaya yang menerpa menjadi mahkota. Di malam sepi, ketika lampu padam, ia kembali ke kepompongnya sendiri, menunggu metamorfosa berikutnya: menjadi cantik lagi, tapi tetap tak bisa dimiliki siapa pun.