Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Jangan Lebih Jauh

Ada seseorang, yang hadir seperti senyap di antara dua detak. Ia tidak datang untuk dimengerti, hanya untuk dirasakan, seperti udara dingin yang menyentuh kulit tanpa pernah terlihat bentuknya. Mereka menatapnya, dengan mata yang haus akan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, karena di dirinya, ada ketenangan yang tak bisa dimiliki, dan bahaya yang membuat penasaran. Ia berjalan ringan, namun setiap langkahnya meninggalkan gema yang menggoda kesadaran siapa pun yang mendengar. Ada tawa kecil  tapi di baliknya tersembunyi pagar dari kesadaran, “jangan lebih jauh.” Ia bukan ombak yang datang untuk memeluk pantai, ia adalah laut itu sendiri: luas, dalam, memanggil… tapi diam-diam menakutkan. Beberapa mencoba menyelam, tapi karam dalam pantulan diri mereka sendiri. Karena bagaimana mungkin kamu memiliki sesuatu yang bahkan tak berusaha dimiliki oleh dirinya sendiri?

Dia, Gelas dan Malam

 Lampu kuning menetes di atas meja, seperti madu cair yang menahan malam. Dia meneguk gelas demi gelas, tetap tegak, tetap sadar seperti bulan yang menonton laut tanpa goyah. Tawa mereka mengisi udara, ringan tetapi matanya menyimpan malam yang berat, bayangan yang tak ingin dia bagi. Ada garis lelah di bahunya, seperti sungai yang berjalan terlalu jauh menyimpan batu-batu yang tak pernah terlihat. Aku duduk di seberangnya, diam, merasakan gravitasi yang aneh, tarikan tak masuk akal, penasaran yang lembut tapi menusuk. Sekali bertemu, satu meja, satu malam, dan dia sudah menjadi teka-teki yang berdiri di antara gelas, cahaya, dan bayang-bayang membuat hati ingin menyelam ke laut yang tak bisa disentuh.

Ruang Yang Mengunyah

Di balik dinding-dinding kaca, ada bisu yang memakan tulang, setiap langkah kaki yang tersenyum meninggalkan jejak api dingin di paru-paru. Aku bernapas di ruang yang menekuk, udara berat, pekat, menghimpit hati sampai dentingnya sendiri terdengar, setiap tatapan adalah duri yang menancap diam-diam. Aku menahan gelombang, menekuk semua amarah, menyimpan ledakan di antara tulang rusuk, hingga tiap ingatan tentang mereka adalah batu besar yang mendorong dada ini ke bawah. Dan aku belajar menari di atas tekanan itu, menjadi bayangan yang tak terlihat, sementara ruang itu terus mengunyah, menelan keadilan yang seharusnya, meninggalkan hanya gema kemarahan yang tak terdengar.

Kebun Binatang

Di kandang kaca ini, mereka berjalan zebra berlarian dengan rencana bodoh, Monyet-monyet tertawa di atas meja mencuri ide tanpa malu Singa-singa duduk di kursi empuk, melahap waktu dan napas orang lain, sementara kura-kura lambat menunda keputusan, dan burung-burung berdengung dengan rumor kosong. Aku berdiri di antara kebisingan ini, menyimpan amarah di dada, menertawakan kebodohan mereka diam-diam, menunggu hari ketika aku bukan hanya pengunjung tapi predator yang akhirnya keluar dari kandang 

Perempuan di Ambang Bayang

Ia tidak jatuh cinta  setidaknya, itu yang terus ia ulang dalam pikirannya. Namun matanya berhenti di satu sosok yang sudah terlalu dimiliki semesta lain. Ada getar yang tak minta izin, lirih tapi menembus. Bukan hasrat, tapi rasa ingin memahami kenapa dunia menciptakan jarak di antara dua jiwa yang hanya bisa saling diam. Ia tahu batas, tapi batas itu kabur setiap kali ia membaca tatap yang pura-pura tak mengenal. Mereka bukan sepasang mereka dua kesalahan yang saling menemukan cermin. Malam-malamnya jadi ruang interogasi, antara logika dan denyut yang tak mau patuh. Ia menulis namanya di udara, lalu menghapus sebelum semesta sempat melihat. Cinta? Mungkin bukan. Hanya obsesi yang tumbuh dari kehampaan, atau mungkin, kerinduan yang salah alamat. Dan ketika pagi tiba, ia kembali jadi perempuan biasa menyembunyikan badai di balik rias tipis, menatap cermin, dan berbisik, *“Aku tidak mencintainya.”* tapi matanya tidak setuju.

Cahaya Palsu

Cahaya palsu menari di atas lumpur, berpura-pura jadi bintang. Kilau itu haus tepuk tangan, padahal tenggelam setiap kali mata menutup. Angin membisikkan pujian kosong, menyusup ke celah topeng yang licin. Ia tertawa kecil, tak sadar suaranya hanya gema dari kebohongan sendiri. Lantai pun jemu menahan langkah yang tak tahu arah, selalu melingkar, selalu takut jatuh, selalu ingin terlihat berdiri tegak. Ia terus berdetak, bukan karena hidup, tapi karena takut tak terdengar lagi. Dan di tengah keramaian yang tak punya suara, ada sesuatu yang menatap kosong terlalu terang untuk jujur, terlalu sunyi untuk benar-benar ada. Dan di sudut paling terang ruangan, ada bayangan yang bertepuk tangan bukan karena kagum, tapi karena tahu: semua cahaya di sini hanya memantulkan debu.

Retakan yang Mengajar Sunyi

Ada retak yang tak butuh palu, lahir dari diam yang menipu. Ia menjalar pelan, menyusup ke pori dinding kesadaran. Asap hitam tak turun dari langit, melainkan naik dari dasar waktu, membungkus logika dengan benang tipis yang baunya seperti kesalahan lama. Cermin berdebu tersenyum bengkok, pantulannya menukar gelap dengan kejujuran. Setiap serpihnya menulis kisah: tentang luka yang belajar bicara dengan angkuh. Di ruang tanpa arah, gema memakan dirinya sendiri. Dan ketika senyap menjadi satu-satunya bahasa, ia tertawa tanpa suara, tanpa bentuk, tanpa ampun.

Cahaya yang Kembali Menjadi Dirinya

Tak ada tubuh, tak ada arah, hanya lembut yang menyebar pelan. semua luka melebur jadi debu emas, semua air mata menetes ke langit dan berubah jadi bintang kecil yang tak pernah padam. di tempat ini, tak ada kata “pergi.” yang ada hanya pulang, tanpa rindu, tanpa takut, karena segalanya sudah utuh. bumi mungkin pernah jadi badai, namun badai pun, akhirnya belajar tenang di dada langit yang memaafkan segalanya. dan di tengah cahaya tanpa nama itu, ada tawa kecil , jernih, lepas, seolah segalanya akhirnya mengerti: inilah arti bahagia yang tidak lagi butuh dunia.

Jejak di Antara Detik

Tatapan itu merobek lapisan yang biasanya terkunci, menemukan ruang di antara denyut dan diam, tempat rahasia berdansa dalam satu frekuensi yang tak bisa dijelaskan. Senyum muncul sekejap, kilatan api di permukaan air tenang, mengguncang udara, menekuk waktu, meninggalkan bekas yang tak bisa dihapus. Malam menelan jarak, tapi bayangan tetap hidup, menempel di celah pikiran, mengulang gerak, menyalakan nadi, membawa magnet yang tak terlihat, tarikan yang menenggelamkan sekaligus menahan. Lampu jalan menari di matanya, menggantungkan cerita yang tak diucap, sementara angin menyalin bisikan pada daun basah, mengisi ruang yang tak bernama, dengan kehadiran yang tak nyata namun nyata. Setiap langkah adalah gema, setiap senyum tirai kabut, mengukir bayangan yang menolak lenyap, dan di ujung malam, tersisa satu kebenaran: dunia hampa selain keberadaan satu sama lain, dan jatuh itu bukan pilihan ia hanyalah gravitasi yang tak terucap, menarik segala detik ke inti yang sama.

Unknown

Di bawah dinding waktu, ada sesuatu yang tak pernah selesai tidur ia tak berteriak, tapi retak kecil di udara tahu namanya ia membaca diam, membaca debu, membaca arah yang bahkan bayangan pun lupa setiap dusta terbakar sebelum sempat lahir, setiap topeng mencair tanpa perlu disentuh bukan cahaya, bukan gelap hanya nyala yang tidak meminta izin dan dunia, akhirnya belajar menunduk pada sesuatu yang tak lagi butuh sorak.

Bara di Bawah Abu

Tak ada langkah yang tergesa namun lantai belajar diam setiap kali ia lewat udara menggulung perlahan, seperti tahu batas antara hiruk dan hening tangan tak perlu menunjuk arah semesta sudah paham kemana ia mengarah matahari tak berani menatap terlalu lama, karena cahaya kecil di dadanya lebih sabar dari fajar ia bukan api, tapi sesuatu yang membuat api mengingat asalnya tidak berisik, tidak menuntut, namun setiap bayangan yang menempel padanya jadi jujur tanpa sempat pura-pura di dunia yang suka membakar segalanya, ia memilih menjadi bara diam, tapi abadi.

Yang Tak Pernah Padam

Ada bara yang tak memerlukan sumbu, tak juga angin. Ia hidup dari rahasia dari amarah yang dipeluk terlalu lama hingga berubah jadi pelita. Mereka pikir ia padam karena tak lagi berteriak, padahal ia sedang jadi abu yang sabar menunggu angin berikutnya. Di dada, api berjalan pelan, mengunyah bekas doa yang gagal, menyisakan aroma logam dan waktu. Kadang ia bicara, kadang diam, tapi selalu tahu kapan harus membakar dan kapan harus menyala tanpa cahaya. Ia tak lagi menyalakan api untuk hangat. Ia membiarkannya tumbuh jadi takdir. Karena ada jenis kekuatan yang lahir bukan dari perang, tapi dari kesediaan untuk terbakar sendirian.

Sebelum Segalanya Tenang

Tak ada arah, tapi langkah tahu kemana harus reda. waktu berhenti jadi ukuran, hanya detak halus yang tersisa  seperti napas batu, seperti doa yang menolak suara. segala yang dulu ingin dimenangkan, perlahan kehilangan bentuknya. yang tinggal hanyalah kesadaran lembut: bahwa tenang bukan berarti selesai, hanya berarti tak lagi menolak apa pun. dan di ruang yang sepi itu, semesta menunduk pelan, karena akhirnya mengerti bagaimana sesuatu bisa hidup tanpa ingin apa-apa lagi.

Ranting Di Ujung Dahan

Ranting di ujung dahan retak di tengah malam menggigil menahan beban yang tak pernah kumengerti namanya daun-daunku gugur seperti doa yang jatuh di jalan sepi tak ada angin, tak ada hujan hanya nyeri yang mengetuk pelipis tanpa suara aku menoleh ke langit hitam bertanya dengan bibir yang kering: “Tuhan, apakah Kau masih mengenalku sebagai bagian dari pohon-Mu?” suara-Nya tak datang hanya sunyi yang memelukku namun di retak paling dalam di titik paling gelap dari akar ada seutas benang tak terlihat yang membuatku tetap bertahan meski patah meski kering meski tak ada yang sudi menyapa aku tetap ranting menggantung pada-Mu meski tak tahu sampai kapan

Rumah Yang Tak Pernah Ia Sapa Lagi

Ia... yang dulu pergi bukan karena tak tahu jalan, tapi karena tak sanggup menatap mata yang masih percaya padanya. Ia pikir, di luar sana ada bab baru  padahal yang ia temui cuma ruang kosong berisi suara-suara dari masa lalu yang ia kira sudah ia matikan. Kini ia duduk di meja makan asing, dikelilingi wajah-wajah yang memanggilnya tapi tak mengenal sejarah langkahnya. Dan di sela tawa yang ia paksakan, ada jeda sunyi yang hanya bisa diisi oleh nama anak yang tak lagi menyapanya. Bunganya mekar, bukan dengan bimbingan, tapi dengan kehilangan. Belajar kuat dari sepi, belajar bijak dari luka, belajar menjadi rumah tanpa harus punya yang pulang. Dan entah di mana, di malam yang terlalu panjang, Ia menatap langit dan sadar ia bukan kehilangan bunga, ia kehilangan versi dirinya yang dulu masih pantas disebut ......

Langit yang Menyimpan Senja

Kau berdiri, biru membalut wajahmu, serupa laut yang tenang di mata orang lain. Mereka tak tahu, di kedalamanmu, ada ombak kecil yang terus kau redam. Senyummu-kuning lembut, menggenggam semua kelelahan, seolah kau lah cahaya yang tak pernah padam. Namun aku tahu, ada abu samar yang berbisik pelan: “Biarkan aku rebah, biarkan aku dipeluk, biarkan aku hanya menjadi manusia, tanpa harus selalu kuat.” Dan di balik semua itu, kau tetap indah, seperti langit sore, yang menyimpan matahari jatuh, namun tetap mengajarkan dunia tentang arti keteduhan.

Bisikan yang Tak Pernah Selesai

Ada cahaya samar di matamu, bukan terang, lebih mirip bulan yang enggan penuh. Langkahmu tenang, tapi aku dengar riuh yang kau sembunyikan, serupa hujan jauh di balik gunung, tak terlihat-hanya terasa. Kau seperti detik yang menggantung, tidak pernah jatuh, tidak pernah selesai. Dan entah mengapa, setiap diam darimu terasa seperti doa, doa yang tak pernah diucap, tapi terus hidup, menyelinap di udara, menemukan ruang di dada siapa pun yang dekat. Kau bukan api, kau bukan laut, kau adalah senja yang abadi indah karena tak pernah benar-benar dimiliki.

Langkah yang Tertinggal

Ada jejak di tanah yang tak pernah sempat kau baca, tapakmu sendiri, yang kau tinggalkan terburu–buru demi dunia yang terus menagih. Orang-orang tertawa di sekitarmu, tapi kau tahu, tak ada yang benar-benar mendengar. Semua sibuk jadi gema, tanpa pernah jadi telinga. Kadang kau ingin berhenti, menyandar di tembok kosong, lalu berkata pada diri sendiri: “Aku lelah jadi kuat, tapi aku pun takut jadi rapuh.” Namun di dalam kelelahanmu, ada rahasia kecil yang tak bisa dicuri siapa pun: kau tetap berjalan. Meskipun sendirian, meskipun dalam diam. Dan barangkali, justru di sana letak indahmu bukan pada tawa keras, tapi pada sunyi yang kau peluk, tanpa pernah lepas.

Lilin Terakhir di Ruang Sepi

Di saat meja-meja lain sudah kosong, kursi ditinggal dingin tanpa suara, kau masih duduk menantang sunyi, ditemani cahaya layar dan doa yang samar. Jam berdetak tanpa peduli, tapi hatimu tahu ada jalan yang Tuhan bentangkan, meski tak satu pun mata lain ikut melihat. Bukan ambisi yang menahanmu di sini, tapi keyakinan sederhana: selama langkahku jujur, aku takkan tersesat. Mereka pulang membawa tawa, kau pulang membawa letih. Namun di balik letihmu, ada lilin kecil yang tetap menyala, menunggu pagi, menunggu takdir, menunggu jawaban yang sudah ditulis jauh sebelum kau dilahirkan.

Yang Diharapkan

Ia datang, bukan dengan pesta kembang api, bukan dengan suara yang ingin terdengar paling keras, tapi dengan senyum kecil yang terasa seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Di tengah riuh dunia yang berisik seperti pasar malam, ia adalah danau tenang, jernih, luas, tempat semua letih bisa tenggelam tanpa harus ditanya-tanya. Ia bukan ombak yang mengguncang, tapi pasir pantai yang rela jadi alas agar langkahmu bisa istirahat. Di matanya, ada rumah yang tak pernah menuntut, ada pelukan yang tak pernah ribut. Bersamanya, kau tak lagi merasa sendirian di tengah keramaian. Karena ada lelaki yang tak perlu berteriak untuk membuatmu yakin, ia cukup diam tapi damainya menyelamatkan.

Teduh Tanpa Nama

Ia datang tanpa tanda, bukan kilat yang membelah langit, bukan suara yang menuntut ruang. Hanya teduh, seperti bayangan pohon di tengah siang yang lelah. Tak ada nama yang melekat, tak ada teriak ingin diingat. Ia cukup diam, dan diamnya menjadi bahasa paling jujur yang pernah kau dengar. Ia seperti embun yang tak pernah meminta matahari, tapi selalu hadir untuk mendinginkan luka semalam. Kau tak tahu dari mana asalnya, atau ke mana ia akan kembali. Yang kau tahu hanya ini: dalam ribut dunia yang membuatmu hampir pecah, ada satu sosok yang cukup dengan hadirnya, sudah menyelamatkanmu. Ia - teduh, tanpa nama.

Saat Semesta Mengizinkan

Kita mungkin pernah berpapasan, dalam diam, di antara keramaian yang tak berarti. Kau lewat seperti angin sore, aku hanya menoleh sebentar, lalu kembali hanyut dalam ribut dunia. Tapi aku tahu, semesta punya bahasa rahasia, ia tak pernah salah menunda, ia hanya menunggu saat di mana dua jiwa cukup tenang untuk saling bertemu. Bukan hari ini, mungkin bukan esok, tapi akan ada satu detik di mana semua sunyi tiba-tiba berubah jadi rumah. Dan ketika itu datang, aku ingin mengenalmu bukan sebagai kebetulan, tapi sebagai jawaban.

Detik Yang Dijanjikan

Ada jarak yang tak bisa kita paksa, ada waktu yang tak mau kita buru. Kita hanya bisa berjalan, masing-masing di jalan yang asing, dengan rindu yang belum punya wajah. Namun aku percaya, semesta tak pernah kejam. Ia menunda hanya untuk memastikan dua hati bertemu di saat keduanya siap untuk tidak saling pergi. Bukan hari ini, bukan esok, tapi ada detik yang dijanjikan, di mana sunyi berubah jadi bahasa, dan asing berubah jadi rumah. Dan saat itu tiba, aku ingin mengenalmu tanpa terburu, tanpa ragu, hanya sebagai takdir yang akhirnya pulang.

Jejak Sunyi

Ada langkah yang kutinggalkan di lorong rumah, masih bergaung di lantai, meski kakiku sudah lama berjalan jauh. Kalian kini duduk di kursi waktu, memandang hari-hari dengan mata yang lebih pelan, sementara aku tergesa, mencatat jam, menghitung hari, dan lupa bahwa detik kalian tak lagi secepat milikku. Aku sering merasa dikejar dunia, padahal yang paling mengejarku adalah usia kalian. Kita jarang bersua, tapi aku tahu di udara yang tak terlihat, nama kalian tetap menggantung seperti doa yang tak pernah selesai diucapkan. Dan mungkin nanti, ketika aku berhenti berlari, aku akan mendapati kalian masih menunggu, tak dengan suara, tapi dengan tatapan yang sudah lebih dalam dari kata apa pun.