Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Yang Diharapkan

Ia datang, bukan dengan pesta kembang api, bukan dengan suara yang ingin terdengar paling keras, tapi dengan senyum kecil yang terasa seperti hujan pertama setelah kemarau panjang. Di tengah riuh dunia yang berisik seperti pasar malam, ia adalah danau tenang, jernih, luas, tempat semua letih bisa tenggelam tanpa harus ditanya-tanya. Ia bukan ombak yang mengguncang, tapi pasir pantai yang rela jadi alas agar langkahmu bisa istirahat. Di matanya, ada rumah yang tak pernah menuntut, ada pelukan yang tak pernah ribut. Bersamanya, kau tak lagi merasa sendirian di tengah keramaian. Karena ada lelaki yang tak perlu berteriak untuk membuatmu yakin, ia cukup diam tapi damainya menyelamatkan.

Teduh Tanpa Nama

Ia datang tanpa tanda, bukan kilat yang membelah langit, bukan suara yang menuntut ruang. Hanya teduh, seperti bayangan pohon di tengah siang yang lelah. Tak ada nama yang melekat, tak ada teriak ingin diingat. Ia cukup diam, dan diamnya menjadi bahasa paling jujur yang pernah kau dengar. Ia seperti embun yang tak pernah meminta matahari, tapi selalu hadir untuk mendinginkan luka semalam. Kau tak tahu dari mana asalnya, atau ke mana ia akan kembali. Yang kau tahu hanya ini: dalam ribut dunia yang membuatmu hampir pecah, ada satu sosok yang cukup dengan hadirnya, sudah menyelamatkanmu. Ia - teduh, tanpa nama.

Saat Semesta Mengizinkan

Kita mungkin pernah berpapasan, dalam diam, di antara keramaian yang tak berarti. Kau lewat seperti angin sore, aku hanya menoleh sebentar, lalu kembali hanyut dalam ribut dunia. Tapi aku tahu, semesta punya bahasa rahasia, ia tak pernah salah menunda, ia hanya menunggu saat di mana dua jiwa cukup tenang untuk saling bertemu. Bukan hari ini, mungkin bukan esok, tapi akan ada satu detik di mana semua sunyi tiba-tiba berubah jadi rumah. Dan ketika itu datang, aku ingin mengenalmu bukan sebagai kebetulan, tapi sebagai jawaban.

Detik Yang Dijanjikan

Ada jarak yang tak bisa kita paksa, ada waktu yang tak mau kita buru. Kita hanya bisa berjalan, masing-masing di jalan yang asing, dengan rindu yang belum punya wajah. Namun aku percaya, semesta tak pernah kejam. Ia menunda hanya untuk memastikan dua hati bertemu di saat keduanya siap untuk tidak saling pergi. Bukan hari ini, bukan esok, tapi ada detik yang dijanjikan, di mana sunyi berubah jadi bahasa, dan asing berubah jadi rumah. Dan saat itu tiba, aku ingin mengenalmu tanpa terburu, tanpa ragu, hanya sebagai takdir yang akhirnya pulang.

Jejak Sunyi

Ada langkah yang kutinggalkan di lorong rumah, masih bergaung di lantai, meski kakiku sudah lama berjalan jauh. Kalian kini duduk di kursi waktu, memandang hari-hari dengan mata yang lebih pelan, sementara aku tergesa, mencatat jam, menghitung hari, dan lupa bahwa detik kalian tak lagi secepat milikku. Aku sering merasa dikejar dunia, padahal yang paling mengejarku adalah usia kalian. Kita jarang bersua, tapi aku tahu di udara yang tak terlihat, nama kalian tetap menggantung seperti doa yang tak pernah selesai diucapkan. Dan mungkin nanti, ketika aku berhenti berlari, aku akan mendapati kalian masih menunggu, tak dengan suara, tapi dengan tatapan yang sudah lebih dalam dari kata apa pun.